Mutiara Hati


--
Langit masih gelap, begitu pekat menyelimuti segala mimpi-mimpi. Sang ratu malam terlihat malu-malu menampakkan sinarnya. Hening, semua makhluk sedang asyik dalam lelapnya. Menikmati tidur panjang, merebahkan segala hiruk pikuk yang telah dilalui hari ini.
Aku terbangun dari tidurku, ku langkahkan kaki ini untuk menghadap Sang Kekasih yang Kekal, Allah.....
Tahajudku malam ini mengundang  cerita yang terpatri kuat dalam hati. Air wudlu masih ku rasakan sejuknya membasahi mukaku.
Aku terdiam... mata ini dengan sendirinya terpejam, dan....
“Saat ku lihat kembali, bunga kenangan itu...
Kenangan dari masa kecilku, mengalir di dalam dadaku...
Sambil terus memeluk impian, yang tak kan pernah pudar...
Aku tak kan pernah menyerah untuk mencapai harapanku...”

            Sayup-sayup ku rasakan lagu ini berdendang lembut menyentuh hati. Lagu yang selama ini menjadi saksi bisu atas kisahku belasan tahun yang lalu.
Enam belas tahun yang lalu ku dendangkan lagu itu, menari-nari di atas bebatuan sungai dengan kaki kecilku. Melangkah, melompat, berlari dengan bebas tanpa beban. Aku memang suka dengan alam. Sangat bersahabat dengan alam. Hijau bukit benar-benar menjernihkan mataku. Semilir angin bak seorang Ibu yang membelai lembut rambut anaknya. Sejuknya air, membuatku merasakan kedamaian atas sejuta pertanyaan yang bersarang dalam benakku.
Aku terhenyak dari lamunanku, tiba-tiba air mata ini menetes dengan derasnya. Teringat saat aku masih duduk di bangku kelas 1 SD. Saat itu betapa kata-kata Ibu Guru Maria menyadarkanku. Menyadarkan pertanyaan yang selama ini belum pernah terjawab, siapa Ibuku? Siapa Ayahku? Siapa Orang Tuaku?
----

Juli 1998, saat itu...
Pagi-pagi sekali saat teman-temanku mungkin masih terlelap, tapi aku sudah bersiap-siap untuk bersekolah. Entah kenapa aku bersemangat pagi ini, sekolah merupakan impianku yang sudah lama kuidam-idamkan, umur 4 tahun itu, sudah wajibkah untk mengarungi bangku sekolah? Tapi itulah aku, pukul 05.30 dengan langkah cepatku, segera menuju sekolah pertamaku, ku lihat gerbang sekolahku belum terbuka saat itu.
Rasa gugup meliputi seluruh wajah dan tubuhku ketika mulai ku langkahkan kaki di kelas.
Ketika pelajaran telah di mulai, Bu Maria dengan anggunnya menyapa setiap siswa yang hadir di hari pertama ini.  Selanjutnya, pertanyaan tentang nama kedua orang tualah yang di sampaikan oleh Bu Guru.
Saat giliran aku menjawab, sungguh aku tak tahu apa yang harus ku katakan. Bingung, gelisah... Aku tak tahu siapa nama orangtuaku.
Dengan berani akupun menjawab, “Nama Ibuku Mak Ami......emm, nama bapakku Pak Anto”.
Ibu gurupun tercengang dengan jawabanku. Bu Guru menegur dengan halus bahwasanya yang aku sebutkan adalah nama Om dan Tanteku yang telah mendaftarkanku di sekolah ini, di Akte kelahiranku bukan seperti itu yang tercatat. Begitulah Bu Maria menjelaskan padaku bahwa orangtua kandungku bukanlah Mak Ami (Mak Pasmi) ataupun pak Anto (Pak Kanto).


Aku tersenyum, dengan lantang aku memberi jawaban lain, berharap jawaban ini benar. “Kalau gitu nama Ibuku Mak ati (Mak Kartini) dan pak Jiji (Pak Suwito)”
Sekali lagi Bu Maria menegur karena yang kusebutkan adalah nama tetanggaku yang juga sering merawatku.
Sedikit gusar, tapi ku tetap tersenyum dan menjawab lagi.
 “Pasti nama orang tuaku... Buk Dar (Ibu Darmiyanti) dan Pak Awuh (Pak Tukiyanto, karena aku sering mendengar kata ”Bapak sampun Rawuh”, aku menyebut  Pak Tukiyanto adalah Bapak Rawuh atau Pak Awuh)”.
Sekali lagi, Bu Maria menegur dengan nada tinggi bahwasanya yang ku sebutkan salah semua, karena nama orangtua yang terakhir disebutkan adalah nama Budhe dan PakDheku....
Lalu, siapakah orangtuaku?
Aku menangis, dengan langkah gontai ku berlari ke rumah... meninggalkan sekolah yang ku idam-idamkan sejak lama....
500 meter lebih ku berlari menuju rumah tanteku.
Dari jauh, seperti biasa dengan senyumnya tanteku menyambut kedatanganku.
Dengan sisa suara yang masih tersimpan bercampur aduk dengan isakan dan tangis ini, ku katakan, “Mak Bukan Ibuku... Mak Bukan Ibuku... Aku gak punya Ibu... Gak Punya Ibu... Apa aku lahir dari batu ?! Mak Bohong !! Mana Ibuku,....!!”
Ku masih terisak dalam tangis, seakan tak bisa melanjutkan kata-kataku lagi.. masih terdengar dari mulut mungilku, “Apakah aku terlahir dari batu?”
Dengan lembut Mak Ami memelukku, membelai-belai rambut ini. Tetesan air mata menetes di pundakku saat itu, Mak Ami menangis. Aku merasa bersalah, ku hapus air matanya. Ku cium dan ku peluk dengaan erat, perlahan kata “maaf” keluar dari bibir ini. Mak Ami tersenyum, aku di dudukkan di pangkuannya. Dan kini semua jelas, Mak Ami menceritakan cerita yang seharusnya tak ku dengar dengan umurku yang sedini itu.
Ibuku... sejak umurku dua tahun, Ibuku meninggalkan aku, menitipkanku pada Mak Ami. Ibu pergi, merantau demi masa depanku. Ayahku... sejak sebelum aku lahir, Ayah sudah meninggalkan Ibu, dan sampai sekarang entah dimana? Aku mungkin menangis mendengarnya, tetapi saat itu aku menangis karena melihat Mak Ami yang selama ini telah merawatku menangis terisak.
Aku tak peduli di mana Ibu dan Ayahku, tapi “Aku sayang sama Mak Ami, aku sayang....”, begitulah kata yang terucap dari bibirku.
Aku pun mencoba melupakan semuanya, atau aku memang tak mau tahu tentang hal ini. Kembali pada kehidupanku yang menyenangkan, bermain dengan alam, membantu Mak Ami dan Pak Anto ke sawah mengambil rumput, belajar di kandang sapi, semua hal itu sungguh mengasyikkan ketimbang mengingat siapa aku ini? di mana Ayahku, atau dimana Ibuku?
Kandang sapi... di tempat itu, justru menguak segala kenangan masa kecil ini. Seakan terlintas di benak tentang bau busuk. Bau gak sedap. Tempat kotor dan menjijikkan. Tetapi hal itu berbeda bagiku, aku bahkan selalu menghabiskan waktuku untuk belajar di kandang sapi, menemani Mak Ami yang sedang bekerja untuk merapikan kapuk-kapuk yang tercecer. Di tempat “pakan sapi” itu, di situlah aku duduk dan berbaring, belajar mengerjakan pekerjaan rumahku dan sibuk dengan cerita tentang sekolahku.
Di saat hari minggu, di saat teman-temanku sibuk bermain dan berekreasi dengan keluarga masing-masing, aku lebih memilih sibuk dengan bukuku dan ikut mencari pakan sapi. Dalam gendongan Mak Ami, di dalam keranjang pakan sapi, di atas rumput, disitulah ku merasakan indah hidup ini, sekali lagi aku tetap sibuk dengan celotehku tentang sekolahku.
Hari, bulan, dan tahun pun cepat berlalu seiring dengan tumbuh dewasanya diriku saat ini. Aku sudah duduk di bangku kelas 4 SD. Prestasi dan prestasi ku raih dengan mudah, juara kelaspun selalu ku dapatkan, pujian-pujian dari guru bahkan hadiah-hadiah dari sekolah tak pernah sekalipun ku lewatkan. Justru hal ini yang membuat hatiku semakin kelu, dimana orangtua kandungku yang kan berbangga padaku? Dimana mereka yang akan mengambil hasil belajarku? Memelukku dan menciumku penuh rasa sayang?

Seperti akhir semester yang sebelumnya telah ku lalui, hari ini aku sendiri lah yang mengambil hasil belajarku, dan tetap lah sama bahwa aku yang menjadi juara kelas. Sungguh itu tak berarti bagiku. Di luar sana ku lihat teman-teman bergandeng tangan, bercanda tawa dengan Ibunya, kini bahkan tangan ini kosong, tak pernah merasakan hal seperti itu. Melangkah dengan wajah sayu, aku pun pulang.
Di bukit ini...
Di sungai ini, ku luapkan seluruh perasaanku. Mungkin aku akan mampir sebentar, sedikit bercerita dengan sahabatku ini, alam sahabatku...
“Nak... peluk Ibu nak.. Ibu pulang.. Anakku, Ibu merindukanmu... ”
Aku pun tercengang, suara itu berasal dari seorang Ibu yang menangis di ujung sana menatapku. Mimpikah aku? Siapakah beliau?
“Nak.. Ibu pulang. Kemarilah anakku.. Peluk Ibu nak..”
Sekali lagi Ibu itu melambaikan tangannya kepadaku. Aku bahkan takut untuk mendekatinya. Kenapa dengan Ibu itu? Apakah dia sudah lama kehilangan anaknya? Sehingga dia berhalusinasi seperti itu? Akupun mendekatinya, mencoba menyapa Ibu yang kini sesak dalam tangisannya.
Tiba-tiba...
“Anakku.. Ibu kangen denganmu nak, Ibu minta maaf telah meninggalkanmu selama ini, maafin Ibu.. Ibu kangen kamu nak”.
Aku tidak mengerti, Ibu itu memelukku dengan erat, tetapi kenapa aku merasakan dada yang sesak? Kenapa tiba-tiba air mata ini juga menetes? Apa yang terjadi dengan diri ini?
Ibu ! Aku pun terhenyak. Sejuta kata-kata tak bisa terucap, terasa berputar-putar dalam otakku. Apakah beliau adalah Ibuku? Aku melepas pelukannya, aku berlari jauh meninggalkannya. Dalam tangis, menahan sesak di dada aku berlari, jauh.. sangat jauh.. kemana saja kaki ini melangkah.
Kepalaku terasa berat dan pening, seakan semua menjadi gelap...
Dan ketika aku tersadar, Mak Ami telah berada disampingku bersama seorang Ibu yang ku temui tadi. Aku masih merasa aneh dan janggal dengan semua yang terjadi pada diriku, berharap semua ini mimpi dan tak usah menjadi nyata.
“Nak, kau sudah sadar? Alhamdulillah..” Ibu yang mengaku sebagai Ibuku tadi pun mendekatiku.
“Jangan dekat-dekat ! Siapa kamu ! Aku gak kenal.. Aku gak kenal ! Ibuku cuma Mak Ami !” Bentakku.
“Nak, apa yang kau katakan? Dia benar Ibumu Nak.. Ibu yang telah kau harap dan kau nanti selama bertahun-tahun?” Mak Ami mencoba menenangkanku.
“Bukan! Kalau emang dia Ibuku, kenapa dia gak merawatku? Kenapa tega meninggalkanku? Kenapa pergi? Kenapa ?” Aku menangis terisak, sesak dan sakit ku rasakan dalam dada ini.
“Dek, tinggalkan kami berdua dulu ya... biar aku yang bicara dengannya”.
Pinta Ibu itu kepada Mak Ami. Mak Ami pun pergi meninggalkan ruangan, kini tersisa kami berdua. Di hatiku penuh dengan kerinduan, tetapi kenapa di hati ini juga ada kebencian yang menyeruak tiba-tiba, astaghfirullahal’adzim ya Allah.. Apa yang harus ku lakukan?
“Anakku, benarkah kau gak mau memeluk Ibumu ini? Malukah engkau memiliki Ibu yang telah tua dan rapuh seperti aku.. Anakku, Ibu meninggalkanmu bukan karena tanpa alasan nak, itu semua demi masa depan dan kebahagiaanmu. Nak, Allah telah menakdirkan kehidupan kita seperti ini, Ibu hanya ingin berusaha sedikit merubahnya agar cerita hidupmu tak seperti Ibu nak...”
Aku, menunduk... dan masih terdiam.
Dengan tangis terisak, beliau melanjutkan, ”Kehidupan selalu silih berganti anakku, terkadang penuh kasih dan terkadang terasa perih. Ibu tak akan meninggalkanmu nak, jika Ayahmu selalu di sisi Ibu dan sadar akan tanggung jawab serta menafkahi keluarga, Ibu tak akan meninggalkanmu, jika Ayahmu bersedia membantu sekolah kakak-kakakmu dan mau membantu merawat, membesarkan mereka juga. Ibu tak akan meninggalkanmu nak, jika Ibu punya kehidupan yang layak dan mampu memberimu sesuap nasi, Ibu juga tak kan meninggalkanmu nak. Ibu terpaksa melakukan ini nak, Ibu tak punya sepeserpun lagi untuk membelikanmu bubur, apa lagi untuk membelikanmu susu. Anakku, cukuplah air tajin dari beras menghidupimu, Ibu menangis nak.... Ibu gak sanggup melihatmu mengerang menahan lapar, Ibu gak sanggup melihatmu dengan hanya beberapa kain potongan sisa untuk menutupi tubuhmu di usiamu yang baru beberapa bulan. Bagaimana bisa aku menelantarkanmu, jika memang semua harapanku suatu saat nanti ada pada dirimu nak. Anakku, mungkin kau belum mengenal siapa keluargamu, tapi inilah saatnya. Anakku, harapan Ibu bergantung padamu, harapan kakak-kakakmu yang rela tidak melanjutkan sekolahnya hanya demi bisa membantu menyekolahkanmu, kakak-kakakmu ada di luar sekarang menunggu kesembuhanmu, menunggu senyumanmu... Maafin Ibu nak, Ibu meninggalkanmu bukan tanpa alasan... Ibu hanya ingin berjuang demi kebahagiaanmu kelak nak...”
Aku menangis terisak, ku peluk erat Ibuku. Sungguh menyesal, aku telah membentak beliau. Ibu maafin aku. Bahkan aku pun rela berlutut meminta maaf padamu Ibu... Ibu, aku merindukanmu. Berjuta kata-kata ada dalam fikiranku, tetapi lidah ini kelu untuk mengungkapkannya, mungkin aku terlalu bahagia. Tetesan demi tetesan air mataku menetes membasahi baju Ibu, mewakili segala perasaanku saat ini. Ibu, aku menyayangimu....
Keluargaku adalah pahlawanku. Betapa beruntungnya aku. Di saat itu, kakak-kakakku menghampiriku dan memelukku penuh cinta. Betapa bahagianya aku dikelilingi bidadari-bidadari berhati mulia seperti Ibuku, Mak Ami, dan ke empat kakak perempuanku yang selama ini membanting tulang demi kebahagiaanku.
----
“Nak...”
Ku lihat Ibu tersenyum dan memanggilku penuh cinta, membangunkanku dari lamunan panjang tentang masa laluku.
“Ibu... Mutiara mencintai Ibu karena Allah”. Ibu menangis memelukku.
 “Kembalilah beristirahat Anakku, esok kamu harus menjadi trainer dalam seminar kampus. Ibu bangga dengan apa yang kamu perbuat selama ini anakku... Sungguh kau mutiara bagi keluarga kita nak, tanpa kau mungkin keluarga kita gak utuh kembali, tanpa kau mungkin Ayahmu gak kembali pada kita, gak bakal tertolong dari penyakit stroke yang diidapnya selama ini... Meskipun dia telah menelantarkanmu, tapi engkau tetap mencarinya dan menyayanginya. Ibu juga sayang Mutiara karena Allah “
“Ibu, ini semua terjadi karena kehendak Allah Bu... Mutiara hanya berusaha melakukan yang terbaik untuk keluarga. Ibu, ini wujud sayang Allah kepada kita. Ibu, sayangi Ayah ya.. Ayah sudah kembali kepada kita, sudah mengakui kesalahannya, bahkan saat beliau sekarang sudah tak mampu menggerakkan tubuhnya, apakah Ibu tidak merasa iba? Ibu, aku ada karena Ayah dan Ibu ada. Ibu dan Ayah adalah motivasiku dalam kesuksesanku. Senyum Ibu, senyum Ayah yang senantiasa menguatkan langkahku. Ibu... Tak ada kebahagiaan lain selain melihat Ibu bahagia.
Aku memeluk Ibu yang terisak dalam tangisnya. Kulit yang sudah mengeriput dengan sendi-sendi yang lemah itu membuatku menangis dan mensyukuri apapun yang kupunyai dalam hidup ini. Ku sadar kenapa terkadang  Allah tidak mengabulkan segala apa yang kita inginkan tetapi Allah selalu tahu apa yang kita butuhkan. Terimakasih Ibu, darimu aku bisa mengambil pelajaran berharga dari hidup ini.
Aku melipat mukenaku, dan menuntun Ibu kembali ke kamar kami. Disana Ayah tengah terlelap dalam tidurnya, tubuh yang sehari-harinya susah bergerak dan hanya bisa menggerakkan mata sebagai isyarat dengan suara yang tak jelas itu membuatku menangis kembali. Segera ku hapus air mata ini, berharap Ibu tak melihatnya. Hingga aku bisa terlihat tegar dengan hati yang sangat rapuh ini. berharap kebahagiaan kan selalu menaungi keluarga kami.
Allahummagfirli wa liwalidayya warhamhuma kamaa rabbayanii shogiiroo.............
Ya Allah ampunilah aku dan kedua orang tuaku dan sayangilah mereka sebagaimana mereka menyayangiku sewaktu kecil”.
----
Mutiara Hati Mutiara Hati Reviewed by dpy on June 09, 2013 Rating: 5

No comments:

dpy
www.dpy.my.id. Powered by Blogger.